Fadillah Rahmi Nasution

WRITER INSPAIRING 18 HARI MEMBAKAR DOSA Fadillah Rahmi Nasution S.Sos* Meletakka...

Selengkapnya
Navigasi Web

Biografi


WRITER INSPAIRING

18 HARI MEMBAKAR DOSA

Fadillah Rahmi Nasution S.Sos*

Meletakkan kening lebih rendah dari pada kaki adalah perbuatan yang sangat pantas kita lakukan ketika Allah memberi sesuatu yang lebih dari yang kita minta. Hal ini juga harus kulakukan ketika Allah mengabulkan doaku. Aku selalu beardo’a agar dapat menjadi tamu Allah ke Baitullah. Inilah keinginan sederhanaku. Namun Allah memberikan anugrah yang lebih besar dari doa yang selalu kupinta. Memenuhi panggilan Allah, menjadi tamuNya di bulan Ramadhan dengan cara yang tak pernah kuduga, adalah karunia terbesar dalam hidupku. Semua terjadi begitu tiba-tiba, seolah aku tak percaya dengan semua ini. Tak pernah kita tahu amalan kita yang mana yang pantas menghantarkan kita ke Baitullah.

Persiapan lahir batin dilakukan agar dapat menjalankan ibadah dengan baik dan sempurna. Hingga tiba saatnya menapakkan kaki di dua tanah Haram. Air mata seolah terkuras memandang Nabawi , Raudoh, dan Ka’bah. Terbayang bagaimana kehidupan Rasululloh dan para sahabat ketika menyusuri bukit Uhud, pemakaman Baqi’, Hudaibiyah, masjid Quba dan Qisos serta banyak lagi tempat bersejarah yang dapat membuat kita semakin rindu dengan Rasululloh dan semakin kecil dan hina dihadapan Allah SWT.

Empat puluh rakaat bersujud di Nabawi tunai sudah. Rangkaian ibadah umroh dapat dilakukan dengan baik, semua karena kemudahan dari Nya. Panas Makkah al-Muqarromah dibulan Ramadhan diatas 45 dan puasa yang lebih lama dari Indonesia membuat kita harus mengkondisikan diri dan hati agar tetap bersabar dan ikhlas. Perjuangan berat namun nikmat saat Thawaf menjelang zuhur dan sholat dipinggiran Ka’bah beratap langit biru yang terik sementara dalam kondisi berpuasa. Lagi semua kekuatan datang dari Allah. Terbayang bagaimana panasnya api neraka dan teriknya di hari akhirat kelak. Hanya istighfar dan zikirlah yang bisa menjadi penyegar saat itu.

Ada hal lain yang menarik perhatian ketika menjalankan puasa di Madinah dan Mekah. Kebiasaan berbagi masyarakat Arab Saudi yang sungguh luar biasa. Mulai anak-anak hingga orang dewasa, laki-laki dan perempuan seolah berlomba bersedekah kepada siapa saja yang berada di masjid dan jalanan. Mulai makanan, minuman, kurma, tissu, kipas bahkan sekedar menyemprotkan air zam-zam dingin ke jamaah sholat. Bagi para jamaah mesjid tak perlu khawatir kelaparan. Mereka yang besedekah seolah lebih banyak dari mereka yang menerima. Kebahagiaan jika kita bisa berbagi kembali apa yang sudah kita dapatkan kepada orang lain. Selaian itu orang tua membiasakan anaknya membuat “proyek “ berbagi pada bulan Ramadhan, walau hanya berbagi secangkir kecil teh/kopi kepada para jamaah masjid terlebih para tamu Allah. Mereka melakukan hampir setiap hari. Mereka yakin berbagi tak akan mengurangi harta, melainkan mendatangkan rezeki dan keberkahan hidup si pemberi. Sebuah fenomena yang menyentuh hati kecilku. Tak perlu mahal dan banyak untuk sekedar berbagi. Paling tidak, satu dua real sehari semoga menjadi kebiasaan yang terus berlangsung setelah pulang.

Masyarakat arab sangat dekat dengan masjid. Sejak kecil orang tua sudah terbiasa membawa anaknya ke masjid, bermain dan berlari dengan gembira. Mereka begitu nyaman dengan masjid. Masjid adalah rumah kedua bagi mereka. Membentuk karakter anak dengan mendekatkan hatinya ke masjid.

Kesyukuran lain yang dirasakan adalah ketika hujan mengguyur Makkah di senja menjelang berbuka. Santapan sudah tersedia semua bersuka cita dan memperbanyak doa menjelang berbuka. Awan hitam menyelimuti Makkah memberikan keteduhan bagi mereka yang berada di halaman Masjidil Haram. Suara guruh menghantarkan butiran air membasahi bumi. Subhanallah.. Hujan semakin deras tak satupun beranjak mencari tempat teduh, melainkan menadahkan tangan memohon kepada Allah. Kedua tangan seolah tak menampung rahmat yang yang begitu banyak. Hujan merupakan peristiwa langka di negeri gurun ini, setelah siang terpapar sang surya yang terik. Mereka mengajariku tentang bagaimana mensikapi hujan dengan bijak dan memanfaatkannya untuk berdoa. Saat hujan adalah saat doa dikabulkan Allah. Tidak mengeluh dan tidak menyalahkan. Tapi menerima dan menikmati.

Begitu nikmat dan bahagia bisa berlama-lama di dua tanah haram ini. Tak cukup 18 hari untuk menikmati panas seolah membakar dosa,tak cukup sebulan memohon ampun tak cukup setahun untuk bisa terus bermunajat dengan khusu’ pada Sang pembolak-balik hati . Tertanam kuat disudut hati semoga terus dalam keistiqomahan untuk menjadi hamba yang baik, sebagai wujud kesyukuran atas semua nikmat yang diberi lebih dari yang dipinta. Berusaha menjadi pribadi yang pantas menerima undanganNya kembali.

Medan,1439 H

*Guru SMAN 1 Galang dan Alumni Kelas SAGUSABU Medan

search

New Post